Jakarta – Persaingan industri digital menuntut para pelaku usaha dari segala sektor untuk memperhatikan data pribadi pelanggan yang terdaftar di produk digital yang mereka buat. Kewaspadaan untuk melindungi data itu harus terus ditingkatkan mengikuti regulasi yang ada.
Menurut Josua Sitompul, Koordinator Hukum dan Kerjasama Ditjen Aptika, Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia (Kominfo RI) menyatakan bahwa ruang digital atau siber memiliki sifat virtual, ubiquitous, dan borderless sehingga, membutuhkan undang-undang yang kuat untuk mengaturnya, khususnya pada perlindungan data pribadi konsumen.
“Kalau kita ingin membangun iklim perlindungan yang kondusif mau tidak mau kita perlu melakukan reformasi regulasi karena hal itu lebih mudah dibandingkan merubah praktik dalam kehidupan sehari-hari dan penyesuaian sosial dan budaya, karena membutuhkan waktu yang sangat panjang,” kata Josua dalam Seminar LPPI, Kamis, 18 Agustus 2022.
Baca juga: Memitigasi Serangan Siber Di Tengah Cepatnya Transformasi Digital Perbankan
Pada kuartal pertama 2022, Indonesia berada pada posisi 8 dalam kasus kebocoran data dengan jumlah kasus sekitar 1 juta dan masalah terbesar ada pada sektor teknologi keuangan.
“Industri Fintech memiliki masalah paling besar pada dunia digital sebesar 37,137 kasus, kedua, perbankan yang memiliki jumlah kasus 34,814 kasus, dan IKNB (Industri Keuangan Nonbank) sekitar 15 ribuan kasus. Masalah yang tidak pernah lepas adalah fraud eksternal, yaitu adanya transaksi ilegal dengan menggunakan data orang lain,” jelas Efrinal Sinaga, Presiden Direktur AkuLaku Finance di kesempatan yang sama.
Fraud yang terjadi juga dipicu kurangnya edukasi dan literasi masyarakat mengenai perlindungan data pribadi. Jika melihat data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) persentase edukasi dan literasi penduduk terhadap cybersecurity memiliki persentase sebesar 38% sementara itu, inklusi sudah berada di angka 76%. Jauhnya perbandingan persentase itulah yang melahirkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan data pribadi yang dapat memberikan perlindungan lebih kuat bagi masyarakat.
Namun Josua juga memperingatkan hal lain yang perlu diperhatikan oleh masyarakat dan pelaku usaha bahwa perubahan yang signifikan akan terjadi pada praktik sosial dan budaya.
“Di Indonesia ada perubahan yang signifikan, yaitu adanya arah menuju perlindungan data pribadi yang progresif dan komperhensif dan perlindungan data pribadi adalah bentuk perlindungan terhadap Hak Asasi Manusi (HAM) dan ini ditekankan dalam RUU,” tegas Josua.
Dari segi pelaku usaha, OJK melalui peraturannya melarang kolektor data dari suatu perusahaan untuk memaksa konsumen memberikan data pribadi, melarang memaksa konsumen untuk setuju membagikan datanya, dan melarang kolektor untuk menggunakan data konsumen walaupun perjanjian antara kolektor dan konsumen telah berakhir.
“Larangan dari OJK dapat dikecualikan jika konsumen melakukan persetujuan. Misal, kita bisa menyimpan selama 5 tahun. Kemudian, kita sebagai pelaku usaha harus melakukan verifikasi data konsumen ke Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Pencataran Sipil) dan menganalisa dengan biro kredit,” pungkas Efrinal. (Fatin)