Bali – Industri BPR (bank perkreditan rakyat) masih terus dibayangi oleh kondisi ekonomi Indonesia yang berada di fase pemulihan pascapandemi Covid-19. Sehingga untuk mengatasi hal itu, industri BPR harus menyikapi dengan baik terkait Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) relaksasi, yakni POJK nomor 17 tahun 2021 dan POJK nomor 18 tahun 2021.
“Kebijakan restrukturisasi menjadi pilihan yang realistis untuk saat ini, guna memitigasi risiko akibat pandemi covid-19. Kebijakan ini telah memberikan ruang kepada bank untuk melakukan assesment debiturnya. Tentunya dengan mengedepankan prinsip-prinsip kehati-hatian,” ucap Joko Suyanto, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (PERBARINDO) pada acara CEO Sharing and Awarding Ceremony – 13Th BPR Awards di Bali, Rabu, 21 September 2022.
Dia juga menilai, kondisi yang dihadapi industri BPR sudah berada dalam kondisi volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Sehingga, sudah saatnya BPR bersama-sama memantapkan visi, menciptakan layanan yang tidak hanya melayani transaksi konvensional tetapi menjadi BPR dengan pelayanan yang menyeluruh, mengkombinasikan layanan antara tatap muka dan layanan teknologi sebagai wujud meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas.
Selain itu, pelaku industri BPR juga perlu menyelaraskan kegiatan BPR dengan regulasi yang telah diatur OJK melalui roadmap yang diterbitkan, dan terus melihat bagaimana perkembangan paradigma yang dianut mengikuti perkembangan industri di dunia guna mendorong BPR lebih lincah, kreatif, dan inovatif dalam mengelola bisnis.
“Mari kita jaga bersama industri BPR yang kita cintai dengan terus meningkatkan kinerja layanan yang lebih baik, melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara berkesinambungan, dan tentunya menjaga serta, meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi. Tak kalah penting, implementasi Good Corporate Governance (GCG) dan manajemen risiko di dalam mengelola perusahaan,” tutupnya. (Fatin)