Jakarta – Ketidakpastian adalah bagian dari kehidupan. Apalagi, di zaman seperti saat ini, tak ada seorang atau pihak manapun yang bisa menjamin kondisi seperti apa yang akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Hampir semuanya unpredictable, dan bahkan sebuah sistem yang telah berjalan secara pasti sekalipun, dapat terdisrupsi sewaktu-waktu dan segera membutuhkan perubahan.
Hal itu terjadi pada setiap sendi dan sektor kehidupan, termasuk sektor bisnis seperti industri perbankan. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Jahja Setiaatmadja, menyatakan bahwa penting bagi seorang bankir untuk menganut prinsip agility dalam berkarya sebagai seorang bankir. Jahja katakan jika lesson agility tersebut ia dapatkan dari pengalamannya selama berkarir di industri. Ia bahkan mengibaratkan dirinya sebagai striker yang siap menangkap peluang.
“Saya umpamakan diri saya sebagai striker. Saya bidangnya akuntan, jadi itu kalau dibilang akuntan, ekonomi itu boleh dikatakan yang namanya budget dan target itu seperti kitab suci. Nah, waktu awal karir saya sangat disiplin, pokoknya bikin target-target, budget variansinya seperti apa, kalau tidak tercapai, kita harus lakukan apa, sangat ketat. Namun, pengalaman dalam perjalanan hidup, ternyata kalau kita stick pada target yang mati, itu tak ada gunanya dan ternyata ini sangat menolong. Kalau sekarang di bidang fintech istilahnya harus agile,” ucapnya saat mengisi sesi Sharing from Visionary Leader bertema Beyond Banking pada acara Infobank 13th Digital Brand Awards 2024 di Shangri-La Hotel Jakarta, Senin, 1 April 2024.
“Jadi, dari tahun ’90-an kemari saya belajar yang namanya agility, namanya target dan budget itu harus very flexible. Harus melihat situasi dan kondisi lapangan bagaimana, apalagi di perbankan. Perbankan itu sangat tergantung sekali dengan suasana makro ekonomi, kalau kondisi lagi bagus, kita betul-betul full gas kredit, DPK, dan lainnya, tapi kalau lagi susah ya harus hati-hati,” tambahnya.
Ia katakan, hal itu tak bisa dilepaskan dari sukarnya proses collection dana pinjaman kredit dari nasabah. Pemberian kredit kepada nasabah yang prudent dan berkualitas perlu dilakukan secara teliti dan sesama. Lebih lanjut, ia ceritakan dirinya bersyukur bisa bergabung di BCA yang sudah memiliki kekuatan fondasi yang mumpuni.
Ia mengungkapkan bagaimana pada tahap awal, BCA juga bergulat untuk memenuhi nilai tabungan atau saving hingga Rp1 triliun. Setelah berhasil mencapai nilai tabungan sebesar Rp1 triliun, BCA melakukan perubahan orientasi bisnis dari saving oriented ke transaction account, yang Jahja katakan sebagai perubahan drastis. Perubahan itu tak terlepas dari rintangan, di mana kala itu, penyediaan jaringan ATM menghadapi penolakan dari para kepala cabang.
“Wong kita kumpulin dana tabungan setenga mati, kok disediakan alat yang 24 jam bisa tarik uang. Tidak ada ilmunya ini, tapi kenyataannya, semakin orang mudah tarik uang, itu orang semakin percaya. Dan di tengah jalan, siapa yang mengira satelit yang kita pakai untuk terkoneksi dengan ATM itu tiba-tiba hilang dari orbit. Saat itu, ATM saya sekitar 12 ribu sampai 13 ribu, sekarang sudah 17 ribu,” paparnya.
Ia sebutkan bahwa 7.000 ATM saat itu dikoneksikan melalui satelit yang hilang tersebut tak bisa beroperasi, sebagian nasabah pun melakukan komplain. Suatu hal yang tak terduga sebelumnya, satelit bisa hilang dari orbit dan tak bisa dicari kembali. Saat itu, ia jelaskan, pihaknya secara cepat menganalisa apa yang terjadi. Pihaknya lalu dengan berani mengambil keputusan untuk menggratiskan semua biaya interkoneksi antar perbankan dari maupun ke BCA.
“Nasabah pada komplain karena kalau ambil dana dari bank lain itu kena Rp6.500 biayanya. Kita hitung secara cepat, kalau kita bebaskan Rp6.500 itu bagaimana. Kira-kira bakal rugi Rp45 miliar maksimum, ada data, semua keputusan harus based on data. Pas kita putuskan semua biaya interkoneksi bank digratiskan, komplain langsung sepi. Inilah yang mau saya katakan agility itu penting sekali,” tukasnya.
Penulis: Steven Widjaja