Jakarta – Teknologi artificial intelligence (AI) bisa dibilang sudah menjadi teknologi yang umum digunakan saat ini. Hampir sebagian besar sektor kini telah menggunakan AI untuk mempermudah proses yang ada, tanpa terkecuali sektor perbankan.
Dan salah satu bank yang turut gencar menerapkan teknologi AI adalah PT Bank Central Asia Tbk (BCA). EVP of Enterprise IT Architecture, Data Management and Service Quality Group Bank BCA, Lily Wongso mengungkapkan jika penggunaan AI telah menciptakan efisiensi dan efektifitas pada sistem operasi hingga membantu fraud detection.
Namun begitu, penerapan AI tidaklah mudah. Terdapat sejumlah rintangan dalam penerapan AI. Lily katakan, tantangan pertama adalah ketersediaan sumber daya manusia (SDM) untuk pengoperasian AI.
“Tentu saja challenge pertama adalah mencari tenaga-tenaga yang experienced untuk memenuhi kebutuhan internal,” ujarnya saat acara Infobank Outlook 2025 bertema “Artificial Intelligence for Banking Future: Banks Transition to New Operating Models” di Hotel Fairmont Jakarta, Kamis (10/10).
Kedua, ia beberkan, diperlukannya standarisasi data sebelum penerapan AI. Ini bertujuan untuk mengurangi hasil pemrosesan data yang bias oleh AI. Data dari beragam transaksi perlu distandarisasi sebelum diproses oleh AI, agar bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya.
“Banyak sekali data yang kita hasilkan dari transaksi perbankan. Jangan sampai data itu kualitasnya tak bisa dipertanggung jawabkan, tak akurat, dan bias dalam modelnya itu sendiri,” paparnya.
Ketiga, regulatory dan compliance. Aspek ketiga ini sangatlah penting. Perlu ada regulasi yang mengatur khusus soal penerapan teknologi AI. Regulasi AI yang ada nantinya, ia imbau, jangan hanya mengatur soal governance, namun juga privasi.
Ia jelaskan bahwa regulasi AI di Eropa mengatur aspek governance, fairness, dan transparancy. Ketiga aspek ini adalah sumber risiko-risiko yang bisa muncul dari penerapan AI, yang perlu diantisipasi melalui sistem regulasi yang jelas.
“AI itu seperti blackbox. Begitu sudah ada modelnya, data apapun bisa keluar, kita bisa saja tidak tahu sebenarnya model ini bekerja seperti apa dan tujuannya untuk apa. Di situlah transparansi dibutuhkan,” tegasnya.
Terakhir, yakni business alignment. Dalam penerapan teknologi AI, divisi IT perlu memastikan bahwa semua lini bisnis atau divisi itu terkonsolidasi saling melengkapi, dan tidak beroperasi sendiri-sendiri sampai tak terkontrol dengan baik. Kurangnya aspek kontrol akan memicu lahirnya berbagai risiko seperti serangan siber.
“Jadi bagaimana alignment itu bisa terjadi. Di situlah peran dari teman-teman yang menjadi data steward, atau mungkin PIC yang mengkoordinir dari AI tersebut,” pungkasnya.
Penulis: Steven Widjaja