Oleh Karnoto Mohamad, Pemimpin Redaksi The Asian Post
PROFESOR J Soedradjad Djiwandono MSc MA PhD adalah pribadi luar biasa yang rendah hati. Dia pernah memegang jabatan publik bergengsi di pemerintahan, terutama era Orde Baru yaitu Menteri Muda Perdagangan pada 1988 dan 1993 hingga Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 1993 hingga 1998.
Namun, Soedradjad merasa lebih terhormat dan bangga jika disematkan profesinya sebagai guru dan pendidik bagi orang-orang muda yang penuh semangat mendulang ilmu demi cita-cita luhur. Dia memang sudah lama menjadi dosen.
Dedikasinya terhadap dunia pendidikan sangat diakui kalangan civitas akademika, termasuk para ekonom tersohor pernah menjadi mahasiswanya.
Peraih gelar Sarjana Ekonomi dari Unversitas Gadjah Mada pada 1963 dan PhD di bidang ekonomi moneter dan ekonomi internasional dari Boston University pada 1978, ini kini sudah genap 30 tahun mengabdi sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Indonesia (UI).
Dia juga masih aktif sebagai Profesor di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam, salah satu sekolah pascasarjana di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura. Selain aktif mengajar, Djiwandono yang kini berusia 86 tahun ini masih aktif menulis jurnal ilmiah maupun artikel berbahasa Indonesia maupun Inggris.
Ada 10 buku yang sudah ditulis oleh pria kelahiran Yogyakarta 17 Agustus 1938 yang menikahi Bianti Djojohadikusumo, putri Begawan Ekonomi Soemitro Djojohadikusumo.
Karena dedikasi dan kontribusinya terhadap dunia pendidikan serta perekonomian Indonesia, FEB UI pun menganugerahinya dengan penghargaan Wirakarya Adhitama, pada Sabtu, 12 Oktober 2024, di Auditorium Soeria Atmadja, Kampus UI, Depok.
Pada acara penghargaan yang diserahkan Teguh Darwanto PhD, Dekan FEB, dan Prof Ari Kuncoro PhD, Rektor UI, sejumlah pakar ekonomi terkemuka tampak hadir, diantaranya Prof Boediono PhD, Wakil Presiden 2009-2014, Prof Bambang Brojonegoro PhD, Ketua Dewan Guru Besar FEB UI dan Menteri Keuangan 2014-2016, M Chatib Basri PhD, Menteri Keuangan 2013-2014, Destry Damayanti MSc, Deputi Gubernur BI, dan Mirza Adistyaswara M.App.Fin, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut Bambang Brojonegoro, kriteria untuk mendapatkan penghargaan Wirakarya Adhitama tidaklah mudah.
“Pertama adalah Guru Besar dari FEB UI. Kedua, sudah purna tugas alias pensiun sebagai Guru Besar. Syarat ketiga adalah pernah menjabat suatu posisi tertinggi di institusi negara,” ujarnya.
Teguh Darwanto mengatakan, Prof Soedradjad Djiwandono memenuhi kriteria tersebut.
“Pak Soedradjad Djiwandono adalah seorang legend, beliau sangat berdedikasi dalam mengajar, dan tidak pernah berhenti menulis sampai sekarang. Beliau sangat konsisten,” ujarnya.
“Prof Soedradjad, telah menunjukkan dedikasi, kerja keras, dan kontribusinya yang sangat nyata dalam dunia pendidikan dan perekonomian Indonesia,” imbuh Prof Bambang Brojonegoro.
Soedradjad Djiwandono pun menyampaikan terima kasih kepada FEB UI, keluarga, dan para koleganya.
“Sebagai akademisi dalam menjalankan tugas menjadi guru dan pendidik, maupun sebagai warga negara seperti yang lain, menjalankan tugas sebagai patriot, bekerja untuk mempertahankan kemerdekaan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Demikianlah saya memaknai penganugerahan piagam Wirakarya Adhitama ini,” ujar Soedradjad.
Sebelumnya, penghargaan ini telah diberikan kepada Prof Widjojo Nitisastro, PhD pada 1 November 2008, Prof Dr Ali Wardhana pada 2014, Prof Subroto pada 2015, Prof Emil Salim PhD pada 016, Prof JB Sumarlin PhD pada 2016, dan Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, PhD pada 2023.
Berani Tutup Bank Milik Penguasa Orde Baru
Soedradjad Djiwandono adalah sebuah adjective, bukan sekedar nama. Begitu M. Chatib Basri, ekonom yang pernah menjadi Menteri Keuangan 2013-2014, menggambarkan sosok “sang guru.”
“Soedradjad Djiwandono adalah sebuah adjective atau kata sifat. Adjective dari seorang schollar yang sangat dedicated dengan ilmunya, adjective dari seorang teknokrat, dan adjective dari kesederhanaan,” ujarnya.
Soedradjad memang sosok yang humble. Chatib pernah menyaksikan sendiri Soedradjad yang biasa naik turun bus atau menunggu taksi, serta ikut antre di kantin National University of Singapore.
Sebagai teknokrat dan cendikiawan yang berdedikasi mengimplementasikan ilmunya, contohnya ketika memimpin bank sentral Soedradjad pernah melikuidasi bank milik keluarga Presiden Soeharto.
Prosesnya diawali ketika dia bersama para direksi BI harus berjuang menangani krisis keuangan Asia yang melanda Asia termasuk Indonesia di tahun 1997/98.
Kebijakan yang Soedradjad terapkan adalah memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami tekanan penarikan dana nasabah besar-besaran (bank run) disebut BLBI (Bantuan Likuiditas BI) yang kemudian menjadi kontroversial, karena meskipun membantu menghindarkan Indonesia dari kehancuran perbankan, tetapi juga ada sejumlah bank yang menyalahgunakan bantuan tersebut dengan cara memberi gratifikasi alias tindakan korupsi yang menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah.
“Salah satu keputusan yang kami lakukan adalah melakukan likuidasi terhadap 16 bank yang tidak solven. Malangnya hal ini menimbulkan komplikasi karena tiga dari bank tersebut kebetulan adalah milik keluarga Presiden Soeharto. Nampaknya karena itu saya diberhentikan dari jabatan saya enam minggu sebelum masa jabatan saya berakhir, meskipun Presiden Soeharto tidak merubah keputusan saya tentang penutupan bank tersebut,” kisah Soedradjad.
Begitu pula ketika Presiden Soeharto setuju dengan sikap Soedradjad yang tidak mendukung penerapan sistem Currency Board yang diusulkan Profesor Steven Hanke, seorang ekonom dari John Hopkins University.
“Saya menerima Keputusan Presiden yang memberhentikan saya dari jabatan sebelum waktunya, bahkan saya mengagumi dan salut kepada beliau, karena beliau tidak merubah sedikit pun keputusan yang telah saya ambil tentang likuidasi bank-bank tersebut. Saya berlapang hati, dan sama sekali tidak menaruh rasa benci atau grudge yang terpendam dihati saya, karena sebagai seorang patriot memang harus berani mempertanggung jawabkan tindakan saya, betapa berat pun saya rasakan,” ujar Soedradjad.
Soedradjad adalah seorang patriot yang memiliki sikap dan prinsip saat menjadi bagian dari kekuasaan, yang setelah lengser kemudian menjadi begawan yang sederhana sebagaimana orang biasa.
Karena statusnya adalah kakak ipar dari Prabowo Subianto, Presiden Terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober 2024, banyak orang berharap Prof Soedradjad Djiwandono bisa berperan dalam menuntun jalannya pemerintahan dengan pengalaman, kepakaran, dan wisdom yang dimilikinya. Tidak hanya menyumbangkan aset mahal pemikirannya di bidang ekonomi, tapi juga menularkan wisdom kesederhaan dan jiwa patriotisme-nya agar bisa menjadi role model bagi para petinggi di pemerintahan.
Apalagi pemerintahan Prabowo menargetkan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 8 persen untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran. Sulit merealisasikan target ambisius tersebut apabila penyakit-penyakit yang diidap dalam perekonomian tidak disembuhkan, apalagi kalau pemerintahan Prabowo Subianto diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki jiwa patriot dan tidak mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingnya sendiri.