
Jakarta – Permata Bank melalui Permata Institute for Economic Research (PIER) memproyeksikan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) RI pada tahun 2025 berada di kisaran 4,5% sampai 5,0%, dengan titik tengah di kisaran 4,78%.
Chief Economist Permata Bank, Josua Pardede bahkan membeberkan bila pertumbuhan ekonomi RI masih akan bergerak di bawah 5% sampai dengan 2026, dan baru akan rebound ke kisaran 5% pada 2027. Josua menjelaskan, ini terjadi akibat adanya tingkat ketidakpastian perang dagang yang cukup tinggi.
“Dan ini akan mendorong investor maupun pelaku usaha untuk cenderung melakukan wait and see, menunda investasi dan juga akan menunda rencana ekspansinya,” ujar Josua saat acara konferensi pers PIER Q1 2025 Economic Review and Media Gathering di Jakarta, Rabu, 14 Mei 2025.
Lebih jauh, ia menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang bersifat counter cyclical seperti kebijakan fiskal dan stimulus yang mesti diperluas untuk meredam dampak multiple dari ketidakpastian perekonomian global.
“Meskipun dampaknya terhadap backbone spending atau share-nya terhadap performance tidak besar, namun bisa kita bayangkan bahwa multiplier effect-nya kepada konsumsi dan juga kepada investasi ini cukup besar,” imbuh Josua.
Josua menilai, kebijakan tarif resiprokal Trump 2.0 memang memiliki pengaruh langsung yang terbatas bagi ekonomi nasional. Meskipun demikian, pengaruh tak langsung dari perlambatan usaha industri akibat kebijakan tarif resiprokal bakal berdampak pada kinerja dagang nasional, serta memicu terjadinya koreksi harga komoditas ekspor utama nasional.
Pihaknya lalu melakukan proyeksi harga ke bawah terhadap harga sejumlah komoditas utama ekspor Indonesia, seperti harga batu bara yang diprediksi berada di kisaran 85 dolar per ton pada 2025, harga CPO di kisaran 880 dolar per ton, serta harga Brent Crude Oil yang diperkirakan di level 67 dolar per barrel.
Di sisi kebijakan fiskal, sekalipun fokus pemerintah cukup besar diberikan pada program makan bergizi gratis (MBG), Permata Bank melihat bahwa defisit fiskal akan tetap terjaga di kisaran 2,75 persen terhadap PDB. Namun, kebijakan fiskal yang ada perlu ditingkatkan lagi produktivitasnya, agar bisa mendorong proyek-proyek yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
“Bagaimana pemerintah bisa mendorong proyek-proyek maupun program-program yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar untuk bisa meng-offset dampak PHK yang juga cukup besar di beberapa industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki,” terang Josua.
Lalu dari sisi inflasi, inflasi diperkirakan akan tetap terjaga di bawah 3 persen selama 2025, dengan end of period-nya berada di kisaran 2,33 persen. Bank sentral AS, The Fed kemudian diperkirakan berpeluang memangkas suku bunganya sebesar 75 sampai 100 basis point (bps) di 2025.
Sedangkan Bank Indonesia (BI) dinilai juga masih memiliki ruang untuk memangkas suku bunganya (BI Rate) sekitar 50 basis poin di sisa akhir tahun ini.
“Kami melihat kondisi tahun ini tantangannya dari eksternal cukup berat, dari dalam negeri pun kami melihat bahwa daya beli kelas menengah cukup berat. Sehingga, kebijakan fiskal memang perlu diambil dengan hati-hati dan manageable. Harapannya, kebijakan MBG ataupun kebijakan investasi yang diambil Danantara akan bisa menggerakkan ekonomi Indonesia ke depannya,” tutup Josua.
Penulis: Steven Widjaja