
Jakarta – Ombudsman Indonesia mengungkapkan temuan terbaru soal modus fraud di industri perbankan. Berdasarkan penanganan laporan pengaduan yang masuk dari masyarakat, Ombudsman menemukan ada 14 bentuk fraud di lembaga perbankan.
Keempat belas bentuk fraud itu yakni penggelapan dana deposito nasabah, penyalahgunaan aset, pencucian uang dengan memakai rekening nasabah, pemalsuan dokumen jual beli atau dokumen pengalihan hak, pembuatan dokumen jual beli atau dokumen pembuatan pengalihan hak yang tak diketahui pelapor, serta pembuatan surat permohonan restrukturisasi bukan oleh nasabah dan pembuatan akad kredit yang tidak ditandatangani nasabah.
Kemudian, kelalaian pengamanan agunan yang membuat bank dirugikan, penggelapan dana tabungan nasabah, pemalsuan dokumen calon nasabah dalam pembukaan tabungan, penggelapan agunan nasabah secara sengaja, pemalsuan dokumen penagihan kepada nasabah, penagihan kredit kepada nasabah dengan pengancaman dan perbuatan tak menyenangkan, pencairan kredit kepada nasabah dengan jaminan piutang yang dimiliki nasabah tanpa analisis kredit dan tanpa sepengetahuan pihak yang dialihkan utangnya, serta penggelapan dana masyarakat melalui misselling produk asuransi Unit Link.
Kepala KU III Ombudsman RI, Yustus Y. Maturbongs mengatakan bahwa di antara keempat belas bentuk fraud itu, bentuk fraud terkait kredit, termasuk KPR (Kredit Pemilikan Rumah), menjadi yang paling banyak diadukan kepada Ombudsman.
Terkait penyaluran kredit, ia menjelaskan, pengaduan yang masuk lebih banyak soal analisis dokumen, hingga kesesuaian antara subyek dan obyek kredit.
“Tapi yang paling trend di kita itu soal KPR. Jadi, misalnya orang sudah lunas KPR, tetapi sertifikatnya belum dapat bertahun-tahun. Nah, persoalannya itu biasanya ini dari KPR perumahan-perumahan di tahun-tahun yang lama, 15 sampai 20 tahun yang lalu,” sebut Yustus ketika ditemui pasca acara diskusi publik bertajuk “Pencehagan Maladministrasi dan Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Sektor Perbankan” di Jakarta, Kamis (8/5).
Menurutnya, letak masalahnya bisa pada persoalan sertifikat di pihak developer yang hilang atau raib, maupun di notaris yang kemudian juga hilang atau raib, serta dapat juga disebabkan adanya permasalahan antara pihak developer maupun notaris dengan hukum.
“Tapi juga bisa karena ada persoalan terkait dengan para debitur yang tidak diketahui keberadaannya. Jadi, misalnya ada satu obyek perumahan KPR, sudah bertahun-tahun di situ, tapi kemudian tidak dilunasi, lalu kemudian pergi (penghuninya), lalu datang penghuni baru,” jelas Yustus.
“Tapi pada prinsipnya permasalahan KPR itu yang paling banyak diadukan. Sudah lunas, namun belum mendapatkan sertifikat,” tegasnya kembali.
Sementara terkait nilai kerugian yang dilaporkan, Yustus menerangkan bila hal itu berdasarkan pada lamanya jangka waktu debitur mengajukan permintaan KPR. Ia sendiri belum bisa membocorkan nilai kerugiannya secara pasti.
Namun begitu, ia menyatakan, dari sisi sumbangan untuk penyelamatan kerugian masyarakat di sektor perbankan memiliki nilai yang lumayan besar. Nilai penyelamatan kerugian masyarakat untuk sektor perbankan bisa setengah dari total penyelamatan kerugian masyarakat yang ada.
“Kalau kisaran dari total Rp500 miliar penyelamatan masyarakat selama 2021-2025, bisa setengah dari itu disumbang dari sektor perbankan, yaitu sekitar Rp100 sampai 200 miliar. Penyelamatan masyarakat ya, bukan penyelamatan kerugian negara,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bila sejak Ombudsman masuk menangani kasus kredit tersebut, angka pelaporan fraud pada sisi kredit mengalami penurunan. Puncak pengaduan terjadi pada periode 2021-2022, dan setelah itu, pihaknya melakukan rapid assessment yang mendorong industri perbankan untuk melakukan perbaikan internal dalam hal KPR.
“Jadi, bisa ada klasifikasi soal developer yang qualified, developer nakal. Oleh karenanya, sudah mulai tertata, sudah mulai tidak terlalu banyak (kasus KPR bermasalah),” timpal Yustus.
Ombudsman pun memberikan sejumlah saran kepada institusi perbankan maupun stakeholder terkait lainnya untuk meminimalisir kasus fraud di lembaga perbankan. Sejumlah saran tersebut, yakni melakukan deteksi dini (whistle blowing, surprice audit, dan surveillence system); investigasi, pelaporan dan audit secara transparan dan akuntabel; penyediaan dan penguatan internal complaint handling; mutasi/rotasi pegawai berlandaskan kompetensi; serta evaluasi dan monitoring untuk pencegahan, deteksi, dan perbaikan.
Penulis: Steven Widjaja