
Jakarta – Kesaksian menarik diungkapkan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi. Burhanuddin yang sering diundang oleh komunitas bisnis untuk berbicara soal hubungan ekonomi dan politik itu, membocorkan kesaksian yang ia sering dengar dari para pelaku bisnis, dimana mereka meminta pemerintah untuk tidak terlalu ketat dalam menerapkan kebijakan efisiensi.
Ia katakan, bila terlalu ketat, bakal berimbas pada perekonomian. Salah satu sektor yang cukup terdampak signifikan dari kebijakan efisiensi anggaran adalah MICE (Meetings, Incentives, Conventions, dan Exhibitions).
“Jadi, data saya juga menunjukkan, terakhir kita survei soal mudik. Itu (mudik) penurunannya besar sekali. 2024 yang mudik 35 persen, terakhir 2025 yang mudik cuman 18 persen,” sebutnya saat konferensi pers DBS Asian Insights 2025 di Jakarta, Rabu, 21 Mei 2025.
Kondisi ini tentunya semakin memperparah dampak negatif terhadap ekonomi nasional. Mengingat, adanya kondisi ekonomi global yang tak menentu turut memengaruhi perekonomian domestik.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan relaksasi efisiensi. Baginya, meniadakan rapat atau event sama sekali adalah hal yang mustahil dilakukan. Biar bagaimanapun, perlu ada rasionalisasi terkait kebijakan efisiensi anggaran.
“Jadi, beberapa item tolong blokirnya dibuka. Kampus tempat saya mengajar terimbas juga ini. Saya ngajar di UIN Jakarta. Tahun ini tidak dapat sepeserpun dana dari pemerintah. Jadi, kita memakai pendapatan resmi dari kampus melalui unit usaha maupun UKT,” kisahnya.
“Lumayan besar, kita bisa pakai dana (sendiri) itu. Tapi pakai uang sendiri pun Rp260 miliar tidak bisa dipakai, karena kena blokir. Dan itu yang mengalami banyak,” sambung Burhanuddin.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kebijakan pelonggaran efisiensi anggaran jangan hanya terjadi di level pemerintah pusat, tetapi juga pada pemerintah daerah. Burhanuddin kembali mengisahkan bagaimana pejabat kepala daerah sementara atau Pj tidak melakukan lelang awal selama mereka menjabat beberapa waktu lalu.
Sehingga, saat kepala daerah dilantik secara resmi dari hasil Pilkada 2024, mereka para kepala daerah baru benar-benar memulai kembali dari awal. Mereka pun baru melakukan lelang awal saat ini.
“Jadi, pemerintah daerah jangan terlalu tegak lurus. Karena faktanya, pemerintah pusat juga mengatakan, efisiensi itu hanya di tingkat pemerintah pusat, bukan di pemerintah daerah,” timpalnya.
Danantara dan MBG
Ia lalu turut menyinggung Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) dan program makan bergizi gratis (MBG). Dua hal ini, menurutnya, masih banyak dipertanyakan oleh para pelaku bisnis.
Pertama soal MBG yang masih sentralistik dan serapannya juga rendah. Walaupun ada alokasi anggaran Rp71 triliun di tahun ini, tetapi yang terserap masih sangat minim.
“Karena dapur umum belum banyak tersedia dan supervisornya juga bermasalah. Dan tahun depan akan ditambah lagi alokasinya Rp100 triliun, jadi total Rp171 triliun di tengah tekanan fiskal,” imbuh Burhanuddin.
Ia sarankan, alangkah lebih baik bagi pemerintah untuk mengevaluasi program tersebut, terutama soal sasarannya apakah benar-benar menyentuh anak-anak ekonomi kelas bawah. Mengingat, masih rendahnya daya serap dan infrastruktur MBG.
Sementara soal Danantara, pemerintah masih perlu meyakinkan pelaku bisnis dan investor soal tujuan dan manfaat pembentukan salah satu lembaga investasi terbesar di dunia itu.
“Kalau pemerintah bisa memberikan sinyal positif bagi pengusaha. Pengusaha bergerak, dan itu punya implikasi positif, bukan hanya bagi ekonomi, tapi juga politik. Sebab, studi saya menyatakan economy matters politically. Karena kalau ekonomi lesu, dampaknya ke pemerintah sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Steven Widjaja