Jakarta – Saat ini, kondisi makro ekonomi masih berada dalam proses pemulihan yang terus menjadi tantangan bagi industri perbankan dan keuangan di Indonesia. Apalagi, adanya perang antara Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung menyebabkan gangguan terhadap rantai pasok global sehingga mendorong naiknya harga komoditas dan harga pangan.
Royke Tumilaar, Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) menilai bahwa kondisi ini dapat mendorong timbulnya inflasi yang tidak terkendali di berbagai negara. Sehingga terdapat risiko stagflasi di mana pertumbuhan ekonomi stagnan namun secara bersamaan terdapat inflasi yang cukup tinggi.
“Dengan inflasi itu, The Fed dan berbagai bank sentral menaikkan suku bunga untuk meredam gejolak inflasi yang tentunya diikuti oleh negara-negara lain termasuk Bank Indonesia (BI) yang menaikan suku bunga sebesar 50 basis point dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menaikan 25 basis point,” ujar Royke dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Selasa, 27 September 2022.
Baca juga: Indonesia Bangkit dari The Fragile Five
Dia juga berpendapat, dampak dari perekonomian dunia telah menimbulkan perlambatan ekonomi terutama di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang tercermin dari data International Monetary Fund (IMF) yang memproyeksikan perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2% jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
Namun di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, Indonesia masih mencatatkan relaksasi pertumbuhan ekonomi yang baik. Pada triwulan II tahun 2022, pertumbuhan ekonomi berada di atas ekspektasi dengan persentase 5,44% lebih tinggi dari pertumbuhan triwulan I sebesar 5,01%.
“Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia yang biasa menjadi leading indicator terus mengalami penguatan namun di lain sisi, volatilitas, nilai tukar, dan barang-barang impor mulai terlihat kenaikan harga terutama di energi dan pangan,” jelas Royke.
Jika kondisi ini terus belanjut maka akan menjadi latar belakang kenaikan suku bunga acuan BI yang diperkirakan terus berlanjut dan berpotensi adanya pengetatan likuiditas. Serta, dampak yang akan dihadapi industri perbankan adalah cost of fund-nya akan naik walaupun signifikasinya belum berubah. (Fatin)