Peta Pasar Setelah Merger Bank Syariah Indonesia; Bagaimana Kinerja Bank Muamalat?

Industri perbankan syariah menghadapi babak persaingan baru setelah Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah melebur menjadi Bank Syariah Indonesia. Bagaimana kinerja Bank Muamalat yang sudah dua dekade menghadapi rivalitas dengan Bank Syariah Mandiri? Mengapa pencapaian industri perbankan syariah tidak sesuai dengan potensi pasarnya yang besar? Mampukah BSI menjadi lokomotif untuk meningkatkan market share perbankan syariah, dan bagaimana nasib empat BUS yang modalnya di bawah Rp1 triliun?

Oleh Karnoto Mohamad

Peta kompetisi perbankan syariah memasuki babak baru. Pada 2020 aset BNI Syariah dan BRI Syariah berhasil menyalip Bank Muamalat, bank syariah pertama di Indonesia yang pernah merajai pasar perbankan syariah hingga 2007. Bank Syariah Mandiri sudah menyalip Bank Muamalat pada 2008. Dan, pada 2021 tiga bank umum syariah (BUS) milik bank-bank badan usaha milik negara (BUMN) bakal makin meninggalkan Bank Muamalat. Sebab, ketiga BUS ini tengah melakukan merger menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) yang asetnya 4,7 kali lebih besar dari aset Bank Muamalat.

Menurut Biro Riset Infobank (birI), gabungan tiga BUS tersebut asetnya menjadi Rp227,91 triliun pada September 2020 dan Rp239,56 triliun pada akhir 2020. BSI menguasai 60,77% pangsa aset BUS dan 40,53% terhadap total aset BUS ditambah 20 unit usaha syariah (UUS). Selain makin dominan di pasar perbankan syariah, posisi BSI di panggung industri perbankan patut diperhitungkan karena berada di urutan ketujuh bank terbesar di Tanah Air.

“Kami langsung masuk di urutan ketujuh bank terbesar, dan kami ingin naik ke jajaran lima besar,” ujar Hery Gunardi, Direktur Utama BSI, kepada Infobank, medio Januari lalu. Tak hanya leading di pasar Indonesia, BSI juga memiliki ambisi untuk masuk jajaran top 10 bank syariah di dunia dari sisi market capitalization pada 2025.

Namun, Bank Muamalat tak perlu berkecil hati. Posisinya di kancah industri perbankan syariah nasional masih cukup prestisius. Setelah posisinya terlempar ke urutan keempat BUS terbesar pada 2020, kini Bank Muamalat kembali menjadi BUS terbesar kedua, di mana ada 10 BUS lain yang ukurannya lebih kecil. Jadi, posisi Bank Muamalat adalah penantang pasar (market challenger), kendati gap dari BUS terbesar terlihat jauh. Dengan 1,6 juta nasabahnya, Bank Muamalat masih punya peluang untuk beroperasi secara efektif.

Selain itu, Bank Muamalat masih memiliki top of mind dalam layanan bisnis haji dan umrah, memiliki koneksi yang kuat dengan organisasi-organisasi Islam, dan memiliki basis nasabah yang sangat loyal. “Dan, kami adalah satu-satunya full branch bank syariah dari Indonesia yang memiliki kantor cabang di negara tetangga dan bisa melayani transaksi nasabah regional,” tandas Achmad Kusna Permana, Direktur Utama Bank Muamalat, kepada Infobank, medio bulan lalu.

Bank Muamalat pernah berlari kencang hingga 2013, sebelum napasnya akhirnya tersengal-sengal akibat terlalu agresif sehingga kualitas asetnya merosot dan butuh penguatan modal. Sayangnya, para pemegang sahamnya kurang memberi dukungan penambahan modal terhadap bank ini hingga pemerintah sempat melempar opsi agar bank-bank BUMN membantu bank syariah pertama di Tanah Air ini tahun lalu. Hingga kini, bank yang sudah 30 tahun beroperasi ini terus berusaha menjaring investor baru untuk memperkuat modal dan memperbaiki kinerja keuangannya.

Bank Muamalat saat ini sedang berharap masuknya investasi dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). “Proses corporate action untuk penguatan modal Bank Muamalat telah mengalami kemajuan signifikan, termasuk penyetoran dana yang sudah kami terima. BPKH merupakan institusi yang sangat cocok karena kegiatannya sama dengan salah satu fokus bisnis Bank Muamalat, yaitu pelayanan haji,” jelas Permana.

Penguatan modal Bank Muamalat sangat mendesak karena capital adequacy ratio (CAR)-nya per September 2020 berada di posisi 12,48%, jauh di bawah rata-rata CAR BUS yang mencapai 20,41%. Modal inti Bank Muamalat juga kalah besar dibandingkan dengan modal inti Bank BTPN Syariah yang asetnya tiga kali lebih kecil. Dengan modal Rp5,17 triliun per September 2020, BTPN Syariah berada di kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3, sedangkan Bank Muamalat masih berada di kelompok BUKU 2 karena modal intinya masih Rp3,42 triliun. BUS penghuni BUKU 2 lainnya adalah Bank Aceh Syariah, Bank NTB Syariah, Bank Panin Dubai Syariah, Bank Mega Syariah, dan Bank BCA Syariah, yang mayoritas usianya kurang dari 10 tahun.

Sedangkan, empat BUS lain masih berada di kelompok BUKU 1, yakni Bank BJB Syariah, Bank Syariah Bukopin, Bank Victoria Syariah, dan Bank Net Indonesia Syariah (lihat tabel: Kinerja Bank Umum Syariah). Padahal, hingga akhir 2020, semua bank umum harus memenuhi modal inti minimum Rp1 triliun sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Semua bank umum yang belum memiliki modal inti minimum Rp3 triliun harus menyampaikan rencana aksi untuk mencapainya paling lambat akhir 2022, dan bank pembangunan daerah (BPD) diberi toleransi akhir 2024. Jika OJK tegas terhadap aturan yang dibuatnya, bank-bank, termasuk BUS yang tidak bisa memenuhi ketentuan permodalan, terancam turun kasta menjadi bank perkreditan rakyat (BPR).

Besarnya pasar ekonomi syariah seharusnya membuat optimistis para pemegang saham untuk memperkuat permodalan bank-bank syariah. Potensi industri halal Indonesia diestimasikan mencapai Rp6.545 triliun. Besarnya nilai tersebut didukung oleh besarnya penduduk muslim di negeri ini. Jumlah penduduk muslim dewasa yang pada 2015 tercatat 161 juta, diproyeksikan akan meningkat menjadi 184 juta pada 2025. Yang lebih menarik lagi, mayoritas atau 57,5%-nya adalah kelas menengah atas.

Besarnya penduduk muslim tak serta-merta membuat ekonomi syariah berkembang cepat. Tingkat penetrasi pasar syariah masyarakat Indonesia masih sangat rendah atau 4,1%. Bandingkan dengan Saudi Arabia yang mencapai 66,4%, Kuwait 42,6%, Malaysia 28,9%, Bahrain 27,1%, atau Qatar 16,4% (lihat tabel: Penetrasi Pasar Syariah).

Ekspansi perbankan syariah Indonesia juga belum mampu mendobrak blokade bank-bank konvensional yang memang sudah sejak lama beroperasi. Market share perbankan syariah sebesar 5% pun baru tercapai dengan tertatih-tatih pada 2013. Kemudian, selama tujuh tahun berikutnya hanya bisa meningkatkan market share menjadi 6,29% (per Oktober 2020).

Padahal, berbagai sosialisasi sudah banyak dilakukan pemerintah maupun regulator, seperti Bank Indonesia (BI) ataupun OJK. Presiden Joko Widodo pun sudah “turun tangan” dengan membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada 2016, yang kini menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).

* Baca laporan lengkapnya di Majalah Infobank No.514, edisi Februari 2021. Pembelian majalah: Sirkulasi Infobank 0852-8802-0094 // versi digital, klik: infobankstore.com

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *