Sektor Keuangan Terbanyak Kedua Lakukan Greenwashing, Kenali Modusnya!

Peneliti Kelompok Spesialis Riset dan Widyaiswara OJK Institute, Sanjung Purnama Budiarjo. (Foto: Tangkapan layar)

Jakarta – Penerapan konsep environmental, social, and governance (ESG) pada lini bisnis sedang mengalami perkembangan pesat saat ini. Hal ini menghasilkan praktik pelaporan ESG yang marak dilakukan oleh berbagai perusahaan dari beragam lini bisnis.

Namun, ternyata tidak semua pelaporan itu berintegritas. Praktik greenwashing atau pemalsuan pelaporan ESG ke publik oleh entitas bisnis marak terjadi. Mengutip data Reprisk, Peneliti Kelompok Spesialis Riset dan Widyaiswara OJK Institute, Sanjung Purnama Budiarjo menerangkan, peristiwa greenwashing terbanyak pada 2023 terjadi di Eropa dengan jumlah sekitar 1.131 insiden.

Posisi kedua, disusul oleh Amerika Utara yang terdiri atas Amerika Serikat dan Kanada dengan total insiden sebanyak 535 insiden. Dan posisi berikutnya ditempati oleh benua Asia. Peristiwa greenwashing terbanyak yang didominasi oleh benua Eropa itu tak bisa dipisahkan dari permintaan ESG yang jauh lebih tinggi di Eropa ketimbang yang lain. Situasi itu memicu berbagai lembaga untuk terlihat “lebih hijau”, meskipun kenyataannya tidak demikian.

Peristiwa greenwashing terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana sektor industri terbanyak yang melakukan greenwashing secara global pada 2023 ialah oil and gas yakni 13 persen dari total insiden greenwashing. Sementara sektor perbankan dan layanan keuangan menempati posisi kedua terbanyak dengan 12 persen dari total peristiwa greenwashing, atau sebanyak 199 peristiwa.

Lebih lanjut, Sanjung mengungkapkan, salah satu penyebab tingginya peristiwa greenwashing di sektor perbankan dan layanan keuangan ialah peran dari lembaga keuangan itu sendiri sebagai penyalur dana ke berbagai sektor, termasuk sektor yang tinggi emisinya.

“Sehingga besar kemungkinan mereka mengklaim bahwa investasi atau pembiayaan mereka berkelanjutan. Meskipun, dana itu mengalir ke perusahaan dengan jejak karbon yang tinggi,” ucap Sanjung secara daring, Senin, 26 Mei 2025.

Menurut Sanjung, ada beberapa faktor pendorong timbulnya greenwashing, yakni kurangnya pengungkapan standar mengenai praktik keberlanjutan, kemampuan konsumen yang terbatas untuk memverifikasi akurasi klaim hijau terkait produk dan layanan, penggunaan data ESG yang tak diaudit secara luas, serta tak adanya otoritas regulasi global dan pedoman regulasi yang mengikat.

Dari sana, OJK menemukan ada dua bentuk utama greenwashing yang marak terjadi di sektor keuangan. Pertama, greenwashing pada produk keuangan berkelanjutan. Greenwashing pada produk keuangan berkelanjutan mengambil bentuk dalam misinterpretasi pada pemasaran (mislabeling), permasalahan pelaporan, dan kesalahan alokasi dana.

“Misalnya, perusahaan menerbitkan green saving account. Yang dipromosikan seolah-olah dananya ini untuk energi terbarukan. Namun, ternyata digunakan untuk meningkatkan infrastruktur berbasis diesel,” ucapnya.

“Sementara penyalahgunaan dana terjadi saat dana dari keuangan berkelanjutan, justru dialihkan untuk proyek yang bertentangan dari tujuan awal, seperti untuk membiayai transportasi berbahan bakar fosil,” sambung Sanjung.

Kemudian, bentuk kedua yakni pernyataan keliru terkait pelaporan ESG. Beberapa tipe greenwashing dari bentuk ini ialah statement provision atau penyediaan pernyataan, yang dapat dikenali dari penggunaan kata-kata yang berlebihan. Kemudian, pernyataan yang menyesatkan dan tidak jelas.

“Contoh, salah satu bank bilang bahwa dia adalah juara dalam memerangi perubahan iklim melalui operasional bisnis yang 100 persen hijau. Padahal, klaim 100 persen hijau ini hanya didasarkan pada penggunaan listrik terbarukan di kantor pusat mereka. Yang hanya sebagian kecil dari jejak operasionalnya,” beber Sanjung.

Pihaknya pun menyarankan segenap stakeholder yang ada untuk memperkuat kapasitasnya dalam menangani potensi greenwashing di sektor keuangan, khususnya pihak pemerintah.

“Pemerintah ini memiliki otoritas regulasi yang tinggi, karena bisa merancang dan menegakkan kebijakan keuangan berkelanjutan,” tegas Sanjung.

Di samping pemerintah, lembaga keuangan dan rating agency juga perlu terlibat lebih aktif dalam menangani greenwashing. Mengingat, mereka memiliki kendali atas arus dana, serta bisa menentukan proyek mana yang akan dibiayai.

Selain itu, ada pula investor yang menurut Sanjung, memiliki kekuatan dalam mendesak terjadinya akuntabilitas karena keputusan investasi mereka yang bakal mempengaruhi kelangsungan bisnis suatu perusahaan. Kemudian, media dan NGO yang juga bisa mempengaruhi opini publik dan menciptakan tekanan reputasi melalui eksposurnya.

“Terakhir, adalah publik dan karyawan perusahaan itu sendiri, yang mempunyai potensi untuk menjadi whistle blower,” pungkas Sanjung.

Penulis: Steven Widjaja

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *