
Jakarta – Di era modern seperti sekarang, masalah perbedaan gender antara pria dan wanita tampaknya tak terlalu menjadi persoalan. Ini turut berlaku di dunia profesional maupun bisnis. Peran srikandi di dunia usaha tak bisa disepelekan.
Sri Noerhidajati selaku Deputi Direktur Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia (BI), menyebutkan bahwa peran strategis perempuan bukan hanya dalam membangun keluarga, tetapi juga dalam perekonomian.
“Sebuah studi menyebutkan bahwa secara global, lebih banyak perempuan bekerja, maka perekonomian akan tumbuh lebih kuat,” tutur Sri dalam acara konferensi pers SisBerdaya dan DisBerdaya 2025 yang diadakan Dana Indonesia di Jakarta, Rabu (7/5).
Ini dikarenakan, pemberdayaan ekonomi perempuan berkontribusi langsung terhadap peningkatan diversifikasi ekonomi serta kesetaraan pendapatan. Situasi demikian diperkirakan dapat berkontribusi bagi ekonomi global, dimana pemberdayaan ekonomi perempuan bisa meningkatkan USD7 triliun untuk perekonomian dunia.
Namun demikian, kaum hawa masih mendapatkan berbagai hambatan dalam membangun dan mempertahankan keberlanjutan usahanya. Sri melanjutkan, data lainnya menunjukkan bahwa pada 2022 tingkat partisipasi perempuan dalam perekonomian, yakni memulai bisnis baru hanya sekitar 10 persen, sementara lainnya sekitar 80 persen didominasi oleh pria.
Lebih jauh lagi, tingkat keberlanjutan bisnis perempuan hanya sebesar 5,5 persen, sedangkan keberlanjutan bisnis pria mencapai 8,1 persen.
“Apa artinya ini? Semakin lama menjalani usaha, tantangan yang dihadapi perempuan ternyata semakin cepat,” tambah Sri.
Merespons kondisi tersebut, Sri tak bisa menampik peran vital transformasi digital dalam memperluas inklusi keuangan di masyarakat. Yang pada akhirnya, mempermudah kerja bisnis para pelaku usaha, tanpa terkecuali, pelaku usaha wanita.
Ia kemudian memberikan contoh bagaimana terobosan teknologi digital dalam sistem keuangan yang sudah diterapkan Bank Indonesia, seperti QRIS, mampu memberikan kemudahan bagi pelaku usaha, utamanya UMKM.
“Dengan QRIS ini transaksi UMKM yang terjadi dapat tercatat secara digital dan terstruktur. Inilah yang nanti bisa menjadi satu track record untuk melihat bagaimana keberlanjutan atau cashflow sehari-hari dari UMKM,” jelasnya.
Data dalam QRIS yang bersifat kredibel dan real time, membuatnya memainkan peran strategis dalam membantu lembaga keuangan untuk menilai kelayakan kredit dari para pelaku usaha atau debitur.
Hingga triwulan I 2025, jumlah pengguna QRIS sudah mencapai 56,3 juta pengguna, dengan volume transaksi mencapai 2,6 miliar transaksi. Sebagian besar pengguna QRIS adalah sektor UMKM, yakni sebanyak 38,11 juta pengguna.
Ia menyatakan jika Bank Indonesia terus berkomitmen memberdayakan sektor UMKM, khususnya sektor UMKM yang dijalankan oleh kaum hawa, melalui sebagai program, strategi, serta dukungan infrastruktur yang pro inovasi.
“Dari sisi supply, Bank Indonesia mendorong inklusi ekonomi dan keuangan UMKM melalui kebijakan sistem pembayaran, seperti penerapan QRIS Tap yang baru diluncurkan di Maret 2025,” ungkapnya.
Di samping itu, ada pula kebijakan pembiayaan insentif makro prudensial yang ditujukan kepada lembaga perbankan, agar mendorong lembaga perbankan untuk memberikan pembiayaan kepada UMKM melalui skema insentif.
Dengan kebijakan insentif makro prudensial itu, lembaga perbankan yang menyalurkan kredit ke UMKM akan diberikan insentif melalui pengurangan giro wajib minimun (GWM).
“Dengan kebijakan ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi bank untuk mau menyalurkan kredit ke sektor UMKM,” cetusnya.
Pihaknya pun akan terus mencari strategi ke depannya, untuk meningkatkan penyaluran kredit ke sektor UMKM yang per Maret 2025 tengah mengalami penurunan pertumbuhan, yakni di level 1,95 persen.
“Padahal waktu pandemi saja itu pertumbuhannya bisa sekitar 10 persen. Nah, ini kami sedang terus mencari gimana caranya agar kembali meningkat (penyaluran kredit ke UMKM),” pungkasnya.
Penulis: Steven Widjaja