Suku bunga KUR yang makin rendah membuat ruang gerak BPR di pasar mikro makin sempit. Debitur BPR sudah banyak yang pindah ke bank umum, yang menyalurkan KUR. Pangsa pasar BPR bakal makin tergerus.
Awal tahun ini suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) dipastikan turun menjadi 6%. Dalam empat tahun terakhir, pemerintah terlihat gencar memangkas suku bunga KUR. Pada 2015 suku bunga KUR diturunkan menjadi 12% dari 22% pada tahun sebelumnya. Kemudian, pada 2016 turun lagi menjadi 9% hingga 2017. Pada 2018 kembali turun menjadi 7%. Tren pemangkasan suku bunga KUR pun terus berlanjut hingga tahun ini menjadi 6%.
Tak hanya itu, pada tahun ini plafon KUR dinaikkan menjadi Rp190 triliun dari 2019 yang sebesar Rp140 triliun. Kemudian, plafon maksimal pengajuan KUR mikro naik dari Rp25 juta menjadi Rp50 juta per debitur. Untuk KUR di sektor perdagangan juga dinaikkan menjadi Rp200 juta, dari sebelumnya Rp100 juta.
Harapan pemerintah, dengan penurunan suku bunga KUR dapat meningkatkan jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dapat menikmati akses pembiayaan di sektor formal dengan pembiayaan yang rendah, guna mempercepat pengembangan sektor UMKM. Namun, di lain sisi, pemangkasan suku bunga KUR justru menjadi ancaman bagi sebagian pelaku bisnis di sektor jasa keuangan, seperti bank-bank di kelas BUKU 2 dan BUKU 1 yang mempunyai pangsa bisnis di sektor UMKM. Yang paling terpengaruh tentunya pelaku industri bank perkreditan rakyat (BPR). Bukan tanpa alasan, bisnis rural bank di Indonesia, yang mayoritas menyasar segmen UMKM, akan makin tergerus dengan penerapan suku bunga KUR yang baru ini.
Tantangan yang dihadapi BPR tentunya kian berat. BPR makin terimpit. Seperti diketahui, mulai dari bank umum, financial technology (fintech), hingga lembaga keuangan mikro (LKM) berebut menggarap potensi besar dari pasar mikro, yang selama ini menjadi lahan bisnis BPR. Pada akhirnya, kondisi ini membuat pelaku bisnis BPR ketar-ketir dalam menjalankan bisnis. Boleh jadi, terus berkurangnya jumlah BPR dari tahun ke tahun salah satunya disebabkan oleh ketatnya persaingan bisnis.
Kembali ke masalah KUR, program pemerintah ini sejak lama memang telah menjadi salah satu pesaing utama industri BPR. Suku bunga KUR yang jauh lebih rendah ketimbang suku bunga kredit BPR jelas mempersempit ruang gerak BPR dalam penyaluran kredit. Banyak nasabah BPR yang akhirnya beralih ke KUR.
Halim Alamsyah, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menuturkan, di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang belum stabil, masih banyak BPR yang mengalami pengetatan likuiditas. Ditambah lagi ada kabar buruk bahwa suku bunga KUR diturunkan menjadi 6%. Tentu hal ini membuat jalan yang dilalui BPR makin sulit. “(Penurunan suku bunga KUR) membuat mereka (BPR) harus makin kreatif mencari pasar konsumen atau debitur yang menjadi pasar khusus yang dilayani oleh BPR,” tuturnya kepada Infobank, bulan lalu.
Penurunan suku bunga KUR sepertinya membuat resah pelaku bisnis BPR. Arif Windarto, Direktur Utama BPR Irian Sentosa, mengungkapkan penurunan suku bunga KUR merupakan tantangan serius bagi industri rural bank. Saat ini, katanya, memang suku bunga BPR masih relatif tinggi, di kisaran 20%-25% atau jauh di atas suku bunga KUR. Sumber dana yang didapatkan BPR memang masih cukup mahal, jadi tidak heran jika hal tersebut membuat suku bunga kreditnya terbilang tinggi.
“Hampir dipastikan tahun depan (2020) pangsa pasar kredit mikro BPR akan tergerus. Penyaluran kredit BPR akan mengalami penurunan karena debitur lebih tertarik pada KUR,” kata Arif kepada Infobank, Desember lalu.
Sulitnya jalan yang harus dilalui BPR juga tecermin dari kinerja industri ini yang relatif stagnan, bahkan cenderung melambat dalam beberapa tahun belakangan. Hal itu terlihat dari pertumbuhan aset dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) yang melambat.
Biro Riset Infobank (birI) mencatat, pertumbuhan aset BPR secara keseluruhan melambat. Pada 2017 tumbuh 10,96%, tapi sampai dengan akhir 2018 pertumbuhannya hanya 7,65% menjadi Rp135,57 triliun. Hingga September 2019, aset BPR tercatat Rp144,78 triliun. Untuk DPK, pada 2017 DPK BPR tercatat tumbuh 12,07%, tapi pada 2018 pertumbuhannya hanya 8,37% menjadi Rp91,96 triliun. Hingga September 2019, DPK BPR tercatat sebesar Rp99,07 triliun.
Untuk penyaluran kredit, pertumbuhannya sedikit lebih baik. Pada 2017 kredit yang disalurkan BPR tumbuh 9,55%. Kemudian, per akhir 2018 tumbuh 9,77% menjadi Rp98,22 triliun. Hingga September 2018, penyaluran kredit BPR tercatat sebesar Rp106,73 triliun.
Selain Arif, keresahan yang sama juga diutarakan Direktur Utama BPR Jam Gadang, Feri Irawan. Ia mengatakan, penurunan suku bunga KUR ini makin memperberat jalan yang ditapaki BPR. Menurutnya, dengan suku bunga KUR pada 2019 yang sebesar 7% saja sudah banyak BPR yang mengeluh karena nasabah mereka di-take over bank umum melalui KUR, apalagi dengan suku bunga KUR yang hanya 6%.
“Dengan suku bunga (KUR), sangat tidak mungkin BPR melawannya karena cost of fund BPR yang lebih besar daripada bank umum, modal yang lebih kecil, dan parahnya lagi BPR makin sulit bersaing dengan KUR. Karena KUR tidak mempersyaratkan maksimal dari sisi agunan atau jaminan sehingga sangat memungkinkan nasabah loyal BPR akan migrasi ke KUR. Walau dalam tiga tahun terakhir sudah diambilnya,” ujar Feri.
Dengan regulasi yang makin ketat, aturan yang makin banyak, dan kebijakan pemerintah yang terlihat seperti tidak berpihak pada industri BPR, Feri merasa industri BPR diperlakukan seperti anak tiri. “Akhirnya, BPR akan menanggung risiko dengan membiayai nasabah yang berisiko besar yang tidak lolos KUR. Ujung-ujungnya, NPL (non performing loan) akan sulit dikendalikan,” ungkapnya.
Padahal, undang-undang perbankan menyebut pentingnya keberadaan BPR untuk melayani masyarakat dalam bidang perkreditan mikro. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sudah waktunya pemerintah beserta otoritas keuangan mendorong keberadaan industri yang melayani lebih dari 17 juta nasabah ini dengan membuat kebijakan-kebijkakan yang tentunya mendukung rural bank. (BK)
Selengkapnya, baca Majalah Infobank No.501, Januari 2020.
Hub. Sirkulasi Infobank: 021-7253127